followers

Selasa, 22 Februari 2011

Cerita #1 - Baun dan Laun

Prolog
Aktivitas keseharian menjadikan mata kita terus menerus menangkap berbagai bentuk, momen, dan warna yang berbeda. Walau kadang tak semuanya membekaskan kesan, tapi masih ada imaji khayalan. Mereka mengantar untuk memandang sesuatu dengan sebebas-bebasnya bahkan jauh dari ke’nyata’an.

Secara bergantian, saya dan Putri akan mencoba untuk bercerita. Imajinasi kadang tiba-tiba saja menyelinap masuk ketika memandang bentuk gambar-gambar repetitif yang kami buat. Dari situlah cerita-cerita ini akan diangkat. Tidak lain, hanya mencoba membuat gambar-gambar ini nantinya menjadi lebih berkesan, dan lebih punya cerita. Setiap orang akan punya cerita tersendiri tentang gambar-gambar ini. Dan inilah cerita-cerita dari kami. Selamat menikmati. (-:


-----

Baun dan Laun


Berlarian ke sana kemari, Baun dan Laun meninggalkan jejak di pasir. Baun adalah sosok lelaki yang agak gendut. Garis di tubuhnya kurang begitu tegas. Mungkin karena memang bentuk dasarnya yang melengkung lepas. Sedangkan Laun, sesosok wanita semampai dengan garis-garis tubuh yang menggoda. Terengah-engah nafas mereka setelah berlarian, mereka duduk dibawah kerindangan.

“Hey, Baun, lelah?! Dasar gendut!” sindir Laun membuka pembicaraan sambil mengatur nafas. Baun diam saja sambil mengurut kakinya yang lelah. “Ah, tidak kok, Laun. Sudah biasa lari-lari.” Tidak lama kemudian, “Aduh, lelah, lapar pula.” Tanpa sadar Baun mengucap kalimat yang kontradiktif sambil memejam mata sejenak.

Sepersekian detik Laun memandang Baun, tawanya langsung buncah mendengar lelucon polos tadi. Tidak sebentar Laun terbahak, sedang Baun hanya bisa diam dengan raut kecut keceplosan. “Aaah, sudah sudah, ayo cari makan malam. Aku sudah lapar sekali ini, Laun.” Serentetan kalimat Baun membuat Laun diam sejenak, tapi memantik ketawa yang semakin menggelora.

Baun bangkit dari duduk dan menyaut tangan Laun, mengajak untuk segera beranjak makan malam. Laun kaget. Ada firasat yang mengganjal saat tangannya digenggam Si Gendut. “Aku sudah menyiapkan makan malam di rumah. Tadi aku masak sesuatu. Ayah ibuku tadi bilang itu adalah makanan paling lezat yang pernah dibuat olehku. Jadi, kamu harus mencobanya juga, Laun” Sambil terus berjalan, Baun menyadarkan Laun, “Hey, Laun! Apa kamu mendengar apa yang kukatakan?” Sadar dari lamunan firasatnya, Laun dengan gagap mengiyakan saja.

Gelas sudah kembali ke meja dengan keadaan kosong. “Tahukah, ini pun menjadi masakan paling enak yang pernah kunikmati di rumahmu, Baun!” Semangat sekali Laun memuji sampai Baun tersipu malu. “Terima kasih, Laun. Aku senang.”

Berhasil mengatasi gugupnya, Baun merasa ini waktu yang tepat untuk bicara pada Laun. “Hey, Laun. Aku dan keluargaku akan pindah ke desa di pulau seberang. Besok pagi sudah berangkat. Kami sudah mengemas semuanya. Aku ingin berpamitan padamu dan minta maaf atas segala salahku.”

Laun hanya bisa diam. Perlahan rautnya sedih. Air mata pun terbit dari pelupuk matanya. Dia sedih karena tidak ada lagi teman seperti Baun yang mampu membuatnya tertawa lepas. Tidak ada lagi teman yang diajarnya menari sampai jatuh terguling karena berat badannya tidak mampu ditahan. Bahkan, makanan lezat barusan tidak akan datang lagi ke lidahnya.

Sekejap, Laun menyambar tangan Baun, mengajaknya keluar ke tanah lapang di samping rumah. Bulan sudah menanti. Laun memandangi Baun, lalu berkata “Baun, maukah kau menari denganku? Sekali ini saja, sebelum kamu pergi besok pagi.” Baun merasa masih belum percaya diri,  lalu telunjuk Laun mendarat di mulut Baun. Menyuruhnya diam. “Ssstt..Tenang saja, nikmati saja, kamu pasti bisa.”

Akhirnya mereka menari, di tengah senandung bulan yang menyinari. Jejak-jejak mereka membekas di pasir. Angin semilir, tarian mereka tetap mengalir sampai hari bergulir.

Ditulis oleh : Ojan

Tidak ada komentar:

Share This

Related Posts with Thumbnails